TIGA belas tahun di Makkah, bukanlah waktu yang singkat yang
dijalani Rasulullah dan para sahabatnya dalam berdakwah terlebih karena dakwah
itu tidak sama atmosfernya seperti sekarang ini. Jika sekarang di Indonesia,
orang-orang sudah bisa dengan cukup leluasa mengekspresikan keislamannya, maka
tidak demikian halnya Rasulullah dan para sahabat dahulu. Mereka harus
menghadapi boikot, penolakan, cemoohan, fitnahan, ancaman pembunuhan, hingga
siksaan fisik saat mengekspresikan keimanannya.
Dahulu, kaum Muslimin di Makkah adalah golongan
minoritas. Minoritas dalam hal kuantitas maupun sumberdayanya. Minoritas pula
dalam hal kekuatannya. Itulah sebabnya mengapa Rasulullah dan sahabatnya belum
mampu berbuat banyak ketika keluarga Yasir disiksa.
Isteri Yasir, dan Yasir sendiri akhirnya menemui
syahid mempertahankan keislaman mereka. Namun kurun 13 tahun itulah periode
pematangan dakwah, hingga akhirnya suatu hari mereka (kaum Muslimin) menjadi
sebuah kekuatan raksasa, tidak hanya untuk ukuran chiefdom seperti Makkah, tapi juga
raksasa untuk ukuran kingdom seperti Romawi dan Persia. Lalu apa yang menjadi
titik balik perubahan mereka? Benar sekali, peristiwa Hijrah!
Hijrah menandai awal dari fase perubahan kaum Muslimin ke arah yang lebih baik dan digdaya. Peristiwa ini, jika dilihat dari perspektif teorinya Malcolm Gladwell, menjadi sebuah tipping point lahirnya kekuatan kaum Muslimin. Masyarakat muslim Makkah pindah menuju Madinah, tempat yang dihuni Muslimin lainnya untuk membentuk sebuah koloni baru dengan atmosfer dan kondisi sosial yang lebih baik tentunya. Kepindahan itu setidaknya menyiratkan satu hal, yakni sikap proaktif untuk keluar dari zona status quo yang mengekang.
Hijrah menandai awal dari fase perubahan kaum Muslimin ke arah yang lebih baik dan digdaya. Peristiwa ini, jika dilihat dari perspektif teorinya Malcolm Gladwell, menjadi sebuah tipping point lahirnya kekuatan kaum Muslimin. Masyarakat muslim Makkah pindah menuju Madinah, tempat yang dihuni Muslimin lainnya untuk membentuk sebuah koloni baru dengan atmosfer dan kondisi sosial yang lebih baik tentunya. Kepindahan itu setidaknya menyiratkan satu hal, yakni sikap proaktif untuk keluar dari zona status quo yang mengekang.
Kaum Muslimin pada saat itu tak boleh terus
tertindas, tak boleh terus terjajah. Patut diakui bahwa pada saat itu tak
sedikit kaum Muslimin yang sebenarnya berada pada posisi aman karena punya
kedudukan sosial yang dihormati plus ekonomi yang mapan. Sebutlah misalnya Abu
Bakr, Saad bin Abi Waqash, dan Utsman bin Affan. Namun kondisi aman itu tak
membuat mereka stagnan dan mempertahankan status quo. Saat ada perintah hijrah,
para konglomerat itu tak segan-segan meninggalkan hartanya dan mengambil resiko
untuk memulai semuanya dari nol lagi. Alih-alih mementingkan diri sendiri, ada
sebuah solidaritas sosial yang menuntut untuk memperhatikan muslim lainnya yang
tak seberuntung mereka.
Dalam peristiwa hijrah, ada fenomena luar biasa
di mana dua masyarakat yang terpisah begitu jauh, muhajirin dan anshor, yang
punya perbedaan suku dan latar belakang serta kebiasaan, mampu bersatu
membentuk sebuah komunitas baru yang utuh hanya dalam waktu sekejap. Ya, hanya
sekejap. Saat itu dua orang yang bahkan tak saling mengenal mampu berbuat
layaknya orang yang sudah bersahabat puluhan tahun.
Dalam hal itu, kisah Sa’ad bin Rabi dan
Abdurrahman bin Auf mungkin menjadi kisah yang cukup legendaris. Ketika
Abdurrahman bin Auf datang ke Madinah dan dipertemukan dengan Sa’ad, Sa’ad pun
berujar bahwa ia memiliki beberapa petak tanah dan rumah. Sa’ad meminta
Abdurrahman untuk memilih petak tanah dan rumah yang ia sukai karena Sa’ad
hedak memberikannya secara cuma-cuma. Bahkan Sa’ad yang memiliki dua isteri pun
berujar pada Abdurrahman yang lajang untuk memilih satu dari dua isterinya itu
agar ia bisa menceraikannya dan menikahkannya pada Abdurrahman.
Namun Abdurrahman ternyata bukan sosok pragmatis
yang aji mumpung sebagaimana para pejabat kita saat ini. Abdurrahman justru
dengan lembut menolak penawaran Sa’ad dan lebih memilih untuk ditunjukkan saja
jalan ke pasar agar ia dapat berniaga. Kisah ini mewakili fenomena unik dalam
sebuat masyarakat yang mampu koheren sebegitu kuat dalam waktu cepat. Tak ada
hal lain yang mendasari koherensi secepat dan sekuat itu selain kesamaan iman
mereka, Islam
Tidak heran kemudian jika persaudaraan yang sudah begitu erat sejak awal mampu menjadi tumpuan kekuatan dalam sektor ekonomi, politik, hingga hankam. Salah satu puncak dari kekuatan itu ditunjukkan oleh kemenangan kaum Muslimin pada perang Badr kubra serta penaklukkan Makkah, negeri yang dahulu menindas mereka. Maka benar kiranya pernyataan almarhum KH Zainudin MZ bahwa jika kita menghendaki kemenangan, maka perlu kekuatan. Jika kita menghendaki kekuatan, maka perlu persatuan. Itu artinya jika kaum Muslimin hendak mengembalikan kejayaannya, maka persatuan menjadi sesuatu yang mutlak ada. Selama kaum Muslimin masih terganggu oleh perpecahan sektarian, mazhab, harokah dan tak mampu bersinergi satu sama lain, maka selama itu pula lah kaum Muslimin akan lemah dan kalah.
Tidak heran kemudian jika persaudaraan yang sudah begitu erat sejak awal mampu menjadi tumpuan kekuatan dalam sektor ekonomi, politik, hingga hankam. Salah satu puncak dari kekuatan itu ditunjukkan oleh kemenangan kaum Muslimin pada perang Badr kubra serta penaklukkan Makkah, negeri yang dahulu menindas mereka. Maka benar kiranya pernyataan almarhum KH Zainudin MZ bahwa jika kita menghendaki kemenangan, maka perlu kekuatan. Jika kita menghendaki kekuatan, maka perlu persatuan. Itu artinya jika kaum Muslimin hendak mengembalikan kejayaannya, maka persatuan menjadi sesuatu yang mutlak ada. Selama kaum Muslimin masih terganggu oleh perpecahan sektarian, mazhab, harokah dan tak mampu bersinergi satu sama lain, maka selama itu pula lah kaum Muslimin akan lemah dan kalah.
Kesuksesan maupun efek peristiwa hijrah bukanlah
hasil dari aktivitas yang dilakukan secara acak melainkan dilakukan dengan
penuh strategi dan kecerdikan. Itu ditandai sejak awal perjalanan ketika Mus’ab
bin Umair beserta beberapa orang sahabat yang cerdas diperintahkan Rasulullah
untuk datang ke Madinah. Mereka datang beberapa bulan sebelum hijrah akbar
dilaksanakan untuk berdakwah di sana, menyebarkan kabar gembira, dan membuat
kondisi sekondusif mungkin untuk tempat bernaung kaum Muslimin. Kecerdikan
berikutnya diperlihatkan ketika Ali bin Abi Thalib menggantikan posisi
Rasulullah di tempat tidur. Saat kabar tentang hijrah kaum Muslimin didengar
oleh kaum musyrikin Makkah, mereka pun bergegas mengepung kediaman Rasulullah
untuk mencegah beliau keluar dari Makkah.
Mereka mengawasi dan memastikan bahwa beliau masih di dalam rumahnya.
Mereka mengawasi dan memastikan bahwa beliau masih di dalam rumahnya.
Beberapa lama ketika tak melihat Rasulullah
keluar, mereka pun masuk ke dalam rumah dan ternyata mendapati Ali yang tengah
ada di sana, bukan Rasulullah. Rasulullah ternyata sudah pergi sebelumnya bersama
Abu Bakr. Tak sampai di situ, kecerdikan berikutnya pun terlihat dari siasat
Rasulullah yang menggunakan rute memutar untuk sampai ke Madinah. Madinah ada
di utara Makkah, namun Rasulullah menempuh jalan lewat selatan Makkah dan baru
memutar ke utara setelah melalui Gua Tsur. Ini bentuk pengelabuan yang cerdas
terhadap orang-orang musyrik Makkah yang tergesa-gesa mengejar beliau.
Tiga kecerdikan di atas setidaknya mampu mewakili
pesan yang tersirat bahwa kaum Muslimin sebenarnya dituntut untuk cerdas mengelola
situasi dan punya perencanaan yang matang. Kaum Muslimin tidak layak menjadi
kaum yang bodoh dan mengabaikan kecerdasan. Semakin cerdik kaum Muslimin
mengelola situasi, semakin baik pula hasil yang ditemui.
Peristiwa 1 Muharram 1434 mengingatkan kita bahwa hijrah menjadi pembuka identitas kaum Muslimin terkait
waktu dan penanggalan. Peristiwa hijrah menandai awal tahun qomariyah yang
sekarang juga dikenal dengan tahun hijriyah.
Sebelumnya, tidak ada kalender khusus bagi kaum
Muslimin. Namun seiring berjalannya waktu kaum Muslimin pada saat itu
menganggap penting adanya sebuah sistem penanggalan yang independen. Independen
dalam arti mampu digunakan kaum Muslimin, tidak hanya sebagai acuan waktu
ibadah, puasa, haji, dan sebagainya namun juga sebagai sebuah identitas yang
menunjukkan bahwa kaum Muslimin adalah sebuah masyarakat besar.
Yang terjadi saat ini adalah masyarakat muslim
masih cenderung abai terhadap identitas waktu tersebut. Meski tidak ada
salahnya menggunakan sistem penanggalan Masehi, penggunaan sistem penanggalan
hijriyah sudah patut desemarakkan dan akan lebih baik lagi jika dipakai secara
luas. Hal ini dalam rangka memperkuat identitas kaum Muslimin disamping
penanggalan tersebut juga terkait dengan waktu ibadah yang terinternalisasi
dalam ajaran Islam. Analoginya, sistem penanggalan hijriyah ibarat bahasa Arab
dalam Islam. Bahasa Arab lah yang digunakan untuk memahami sumber otentik Islam
dan dan sistem penanggalan hijriyah-lah yang digunakan untuk mengaktualisasikan
konsep waktu dalam Islam. Maka momen 1 Muharram menjadi momen yang cukup baik
untuk memaknai dan menggembirakan kembali penggunaan penanggalan Islam.*
Ditulis oleh: Asto Hadiyoso
Ditulis oleh: Asto Hadiyoso
http://www.hidayatullah.com
Ditulis Oleh : Pengelola ~ Pendidikan Kesetaraan, Pendidikan Karakter

Tidak ada komentar :
Posting Komentar